Disampaikan dalam Roundtable Discussion yang diselenggarakan oleh Global Future Institute, bertema: Indonesia, Rusia dan G-20, Kamis 25 April 2013, di Wisma Daria, Jakarta Selatan Ringkasan Penting: Yang perlu digarisbawahi, Rusia datang ke Asia Pasifik dan Timur Jauh, bukan untuk membuat konflik baru, melainkan ingin menghiasi konflik itu, semacam membuat interior design, sehingga konflik yang berlangsung selama ini bisa lebih mengarah ke tren yang lebih positif di masa depan.
Dengan demikian, untuk ringkasnya, Indonesia harus memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi, khususnya di bidang perangkat keras di bidang Industri strategis khususnya milter, ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian.
Dalam menghadapi forum ekonomi Asia Pasifik (APEC) maupun G-20, Indonesia harus cerdas, cerdik dan responsif dalam mengantisipasi pergerakan-pergerakan geopolitik negara-negara yang diperkirakan bakal memainkan peran strategis atau pemain-pemain utama dalam konstalasi global saat ini.
Indonesia dan Rusia sama-sama berada dalam forum yang sama di APEC, ASEAN Regional Forum, dan East Asia Community, maka dalam konteks APEC Indonesia bisa memaksimalkan peran diplomasinya, untuk meluruskan dan mengarahkan kembali tujuan APEC yang sudah melenceng jauh dari tujuannya semula. Karena sekarang APEC telah jadi ajang kepentingan negara-negara besar seperti Amerika, Eropa Barat, dan Jepang.
Sekaligus juga agar Indonesia mampu mengoptimalkan kebijakan-kebijakannya terkait peningkatan kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi. Rusia memang punya visi Timur. Karena itu Cina harus jadi agenda pokok untuk membangun aliansi. Cina memang musuh masa lalu Rusia, tapi juga bisa jadi kawan masa kini. Inilah gunanya kesepakatan strategis Rusia-Cina melalui SCO.
Keempat. Presiden Putin menekankan ada tiga pilar diplomasi Rusia. Pertama, Kekuatan militer. Kedua, Ilmu dan Teknologi, termasuk industri. Dan Ketiga adalah energi. Dengan tiga pilar diplomasi ini, Putin yakin bisa kembali menjadi negara adidaya. Karena di era Perang Dingin, sebenarnya Rusia bukan negara superpower yang sebenarnya karena secara ekonomi Rusia masih lemah. Meski secara militer dan persenjataan Rusia memang termasuk negara superpower. Itulah sebabnya Rusia ingin mengembalikan kejayaannya seperti di masa silam.
Keunggulan Rusia
1. Militer
2. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
3. Sumberdaya Manusia
4. Sejarah dan Peradaban
5. Sumberdaya Mineral
6. Kepemimpinan, terutama di era Vladimir Putin
Kelemahan Rusia
1. Instabilitasi Politik di dalam negeri
2. Sistem Politik yang masih relative otoritarian
3. Masalah residual seperti kemiskinan.
4. Kemapanan ekonomi yang masih banyak yang harus ditanggulangi.
Peluang Rusia
1. Rusia sebagai kekuatan penyeimbang.
2. Persekutuan strategis bersama Cina, India, dan Afrika Selatan
Ancaman dari dalam dan luar Rusia
1. Ancaman dari dalam negeri seperti Terorisme dan gerakan separatism.
2. Ancaman paling berbahaya berada di kawasan Caucasus.
3. Ancaman dari luar tentu saja dari Amerika dan Uni Eropa. Sedangkan dari Asia berasal dari Jepang.
Prospek Kerjasama Indonesia-Rusia
Indonesia dan Rusia menurut saya memang harus sama-sama membangun kerjasama yang saling menguntungkan. Namun Indonesia harus punya visi yang jelas, sehingga dengan Rusia akan terjalin sebuah kerjasama yang equal/setaraf dan saling menguatkan. Selama ini kan Indonesia sepenuhnya didikte oleh kepentinga Amerika. Dengan Rusia kita jangan sampai tunduk begitu saja pada kepentingan Rusia. Harus ada take and give.
Kalau Indonesia saat ini belum bisa menentukan arah kebijakan politik luar negeri negara-negara lain, setidaknya kita harus bisa mencegah jangan samapi didikte negara-negara lain. Termasuk Rusia. Kalau kita merelakan diri di bandwagon negara lain, ya politik luar negeri kita tidak akan mandiri dan independen. Apalagi dalam menentukan keputusan-keputusan strategis di tengah konstalasi global seperti saat ini.
Dalam konstalasi global saat ini, praktek hubungan internasional yang ditekankan adalah transfer of power. Artinya, negara-negara yang ada dalam sistem internasional ini, berkeinginan mendirikan bank atau lembaga-lembaga keuangan. Bahkan lalu-lintas perdagangan yang sifatnya otonom. Transfer of power inilah yang diiginkan oleh Rusia.
Dengan demikian Amerika bisa dihentikan posisi dan perannya sebagai kekuatan dominan satu-satunya di dunia internasional. Inilah yang sedang diupayakan oleh negara-negara berkembang seperti Brazil, India dan Afrika Selatan. Memang kita belum tahu kapan tercapainya kesetaraan atau equality. Yang jelas, Rusia berusaha menipiskan jarak atau gap dengan Amerika sebagai dominator global. Terbukti bahwa ketika Amerika dilanda krisis ekonomi, Amerika melakukan pendekatan kepada Cina. Ini bukti adanya transfer of power.
Terkait dengan G-20, meski ada beberapa pakar yang menganggap sebagai perpanjangan tangan Amerika, namun tetap harus dipandang sebagai entitas tersendiri. Namun sebelum bisa memaksimalkan peran Indonesia di forum G-20, terlebih dahulu Indoenesia harus memaksimalkan perannya di forum ekonomi Asia Pasifik di APEC, ARF maupun East Asia Community.
Karena Indonesia lebih memungkinkan membangun keseimbangan di APEC, ARF dan East Asia Community. Namun demikian, kalaupun tetap ingin memainkan peran di G-20, para stakeholders kebijakan luar negeri kita harus bisa lebih cerdas dan cerdik dalam memaksimalkan perannya. Artinya, Indonesia harus tahu diri tapi juga mampu memotivasi diri. Jadi keikutsertaannya sebagai anggota negara G-20 itu bukan sekadar ikuta-ikutan atau sekadar ingin dapat pengakuan.
Para pemangku kebijakan luar negeri hendaknya menyadari bahwa jangkauan geopolitik Rusia terhadap negara-negara luar itu adalah sebagai berikut:
1. Timur Tengah.
2. Asia Tengah
3. Asia Pasifik
4. Timur Jauh
Kita tahu Suriah di Timur Tengah, merupakan faktor kunci yang tidak pernah dilepaskan oleh Rusia. Asia Tengah, jelas sudah saya singgung tadi, apalagi ada banyak negara-negara eks satelit Rusia di kawasan tersebut.
Lantas di kawasan Asia Pasifik, Rusia bagaimanapun juga tergabung di forum APEC. Juga Rusia ada di East Asia Community. Rusia juga terlibat di ARF. Seperti itu. Sedangkan interaksi primer Rusia, saat ini tetap dengan Amerika Serikat. Lalu dengan Cina. Ketiga dengan Uni Eropa. Lalu dengan Jepang, India dan baru kemudian dengan ASEAN.
Indonesia Harus Mantap Dulu di ASEAN
Sehubungan dengan konteks hubungan bilateral Indonesia dan Rusia, khususnya dalam memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, Indonesia harus mantap dulu di forum ASEAN. Indonesia harus mampu menjadikan dirinya sebagai inisiator yang hebat di kalangan negara-negara ASEAN. Harus mampu jadi pemegang remote control di ASEAN. Jangan malah Indonesia kemudian ditinggalkan oleh Singapore atau negara-negara ASEAN lainnya. Baru setelah Indonesia punya landasan dan modalitas yang kuat di ASEAN, baru kemudian kita punya daya tawar yang kuat dengan Rusia. Tanpa modalitas dan posisi yang kuat dari Indonesia di ASEAN, saya yakin Rusia juga tidak akan menganggap penting Indonesia.
Indonesia harus mampu meyakinkan Rusia apa yang bisa didapat Rusia dari Indonesia maupun ASEAN. Karena bagaimanapun juga di ASEAN ada 600 pasar dan modal, dan ini akan menarik bagi negara manapun, termasuk Rusia. Makanya Indonesia harus merebut dulu sebagai pemegang remote control-nya dulu di ASEAN.
Namun ada hal berharga yang harus kita pelajari dari keberhasilan Rusia dalam memanfaatkan tiga piranti politik luar negerinya. Rusia seperti yang saya sebut tadi modalitas politik luar negerinya: Militer, IPTEK dan Energi. Juga ada budaya dan warisan sejarah.
Dari ketiga piranti politik luar negeri yang ditekankan Vladimir Putin, yang perlu kita cermati dalam memandang prospek kerjasama dengan Rusia adalah di bidang militer. Kenapa sih Indonesia selama ini selalu tergantung pada Washington? Meski kita tetap menjalin hubungan kerjasama dengan Washington,saya kira kita perlu juga menoleh ke negara-negara lain yang kiranya juga akan bisa membawa keuntungan yang lebih nyata. Daripada sekadar beli senjata dengan murah, tapi kemudian kita ditekan oleh Washignton. Seperti dalam bidang Demokrasi dan HAM.
Kenapa kita tidak menyerap inspirasi dari The Beijing Consensus? Yang mana dalam hubungan bilateral sebuah negara, ditegaskan agar tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara. Yang ditekankan adalah kepentingan strategis dari negara-negara yang terlibat dalam kerjasama bilateral tersebut. Maka itu, dalam menjalin kerjasama strategis dengan Rusia, bidang militer kiranya bisa jadi pertimbangan yang cukup penting.
Ini penting karena selama ini selain Amerika, kita sebagai negara besar juga mendapat rongrongan dari Malaysia, Singapura dan Australia. Karena ingin melemahkan kekuatan strategis kita. Karena itu saya yakin kelemahan dari BUMN industri strategis kita seperti PT PAL, PINDAD dan PTDI, bukan karena kita tidak mampu mengelola manajemennya secara professional. Melainkan karena adanya campurtangan dari negara-negara yang secara geopolitik memiliki kepentingan langsung dengan Indonesia. Terutama Malaysia, Singapore, Australia dan Amerika. Kita tidak menafikan kemungkinan adanya konspirasi.
Sehingga kemandirian strategis kita akan selalu diganggu sampai kapan pun. Maka itu, satu hal yang bisa dilakukan Indonesia untuk mengembalikan fungsi-fungsi industr strategis adalah dengan Menggandeng negara-negara seperti Rusia. Kenapa tidak?
Kita sebenarnya punya bargaining position yang kuat. Kita punya PTDI, kita punya PINDAD, kita punya PAL, kita punya Krakatau Steel. Kita punya lembaga aerotika nasional. Kita punya itu semua. Mulai dari dinamit bahan peledak, senjata, kereta api, semua ada. Dan Rusia punya itu semua. Kenapa kita tidak memanfaatkan itu.
Sekarang bagaimana prospek kerjasama strategis Indonesia dan Rusia di bidang energy? Sekarang ini Pertamina mulai belajar lagi. Setelah sekian tahun dalam posisi mapan, maka tak ada salahnya Indonesia mulai mendekati perusahaan-perusahaan energi Rusia. Karena bagaimanapun juga Rusia berpengalaman dari segi teknologi dan sebagainya. Indonesia sangat berkepentingan dalam hal ini.
Karena seperti halnya Rusia, piranti politik luar negeri yang membuat Rusia kuat dan diperhitungkan adalah kemampuan teknologinya. Dan saya yakin Rusia mau bersedia membantu, meski saya yakin Rusia juga meminta beberapa konsesi. Namum saya yakin tidak akan seserakah Amerika lah. Karena dalam hubungan internasional, tidak mungkin lepas dari adanya kerjasama timbal-balik. Take and Give.
Di bidang Pendidikan dan Kebudayaan, kerjasama dengan Rusia juga bisa dimaksimalkan kemanfaatanya. Mengapa kita tidak mengirim para pelajar dan mahasiswanya ke Rusia. Jangan kita terlalu terkagum-kagum dengan Yale atau Harvard University di Amerika. Padahal di Rusia ada Patricia Lumumba dan sebagainya. Yang pamornya pun tidak kalah menarik.
Satu hal yang saya perlu tekankan, Rusia ini jago dalam penguasaan Ilmu Murni. Karena itu tak heran meski pernah kolaps, Ilmu Pengetahuan dan Teknologinya tetap Berjaya. Rusia tidak pernah ketinggalan dengan Uni Eropa dan Amerika. Rusia tak pernah ketinggalan dari Boeng atau Airbus. Sehingga mereka bisa memproduksi pesawat-pesawat sipil yang dari segi teknologi tidak kalah canggih.
Indonesia, Rusia dan G-20
Indonesia punya 4 channel untuk mengakses kerjasama dengan Rusia. ARF, East Asia Community, dan APEC. Kita harus bisa meyakinkan Rusia bahwa Indonesia juga pasar potensial bagi Rusia. Indonesia juga bisa menyediakan bahan mentah yang bagus. Buruh yang affordable dan terjangkau. Selain itu kita punya kemitraan strategis dengan Rusia.
Karena itu langkah strategis Indonesia, adalah memperkuat komitmen dalam menerapkan kemitraaan strategisnya baik dengan Cina maupun India. Dalam konteks BRICS, Indonesia sudah saatnya menjalin berbagai peluang kerjasama dengan Afrika Selatan, meski secara kawasan jauh dari wilayah Indonesia. Di Afrika Selatan mereka punya South African Development Cooperation. Kenapa Indonesia tidak masuk ke sana? Padahal Cina, Malaysia, India, sangat agresif menjalin kerjasama dengan Afrika Selatan. Negara-negara tersebut memandang Afrika sebagai Promising Land dari segi kesempatan.
Dalam bidang kelautan, perikanan, pariwsita dan transportasi, layak diperhitungkan. Apalagi ada fakta jumlah turis dan investasi Rusia di Bali, ada gradasi meningkat. Sekadar catatan, meningkatnya investasi Rusia secara agresif di India, ternyata menyumbang peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal di India. Karena itu Indonesia seharusnya memaksimalkan kerjasama dengan Rusia di bidang pariwisata.
Tentu saja dalam menjalin kerjasama dengan Rusia, tidak dibuat dengan meniru karakter perjanjian kerjasama Indonesia dan Amerika yang sangat berat sebelah. Harus setaraf dan saling menguntungkan.
Rusia punya beberapa agenda strategis yang perlu diketahui Indonesia sebagai latar belakang untuk menyusun konsepsi kerjasama strategis dengan Rusia. Yaitu:
- Mengembalikan Rusia sebagai Negara Superpower.
- Menjadi Penyeimbang Global.
- Keluar dari Cengkraman Amerika dan Negara-Negara Barat.
- Menjadikan dirinya sebagai Peace Conflict Catalisator
Yang
menarik, Rusia sekarang sedang berusaha untuk menciptakan konsepsi
perdamaian yang berada di luar skema pemahaman Amerika dan Uni Eropa.
Jadi lebih merujuk pada Scandinavian School. Sehingga negara-negara
otonom seperti Rusia dan Cina berusaha menciptakan konsepsi perdamaian
tidak sebagaimana dipaksakan oleh Amerika dan Uni Eropa.
Kehadiran Rusia di APEC maupun G-20, karenanya harus dipandang sebagai momentum Rusia untuk menjadikan dirinya sebagai negara adidaya di bidang ekonomi. Karena sewaktu perang dingin, Rusia sebenarnya hanya sekadar Diabled Superpower. Selama 70 tahun Rusia Cuma jadi negara superpower tanpa kekuatan ekonomi dan keuangan.
Yang perlu digarisbawahi, Rusia datang ke Asia Pasifik dan Timur Jauh, bukan untuk membuat konflik baru, melainkan ingin menghiasi konflik itu, semacam membuat interior design, sehingga konflik yang berlangsung selama ini bisa lebih mengarah ke tren yang lebih positif di masa depan.
Dengan demikian, untuk ringkasnya, Indonesia harus memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi, khususnya di bidang perangkat keras di bidang Industri strategis khususnya milter, ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian.
Dalam bidang peningkatan kapastias SDM, sudah selayaknya mempertimbangkan kerjasama bidang riset dengan Rusia. Maupun peningkatan anggaran beasiswa baik dalam skema Bappenas maupun Pemerintah Rusia.
Pengadaan Alutsista/Alat Utama Sistem Persenjataan dan Perangkat Keras. Sehingga Indonesia harus memperluas jaringan pasarnya ke Afrika, Asia Tengah dan Caucasus.
Kehadiran Rusia di APEC maupun G-20, karenanya harus dipandang sebagai momentum Rusia untuk menjadikan dirinya sebagai negara adidaya di bidang ekonomi. Karena sewaktu perang dingin, Rusia sebenarnya hanya sekadar Diabled Superpower. Selama 70 tahun Rusia Cuma jadi negara superpower tanpa kekuatan ekonomi dan keuangan.
Yang perlu digarisbawahi, Rusia datang ke Asia Pasifik dan Timur Jauh, bukan untuk membuat konflik baru, melainkan ingin menghiasi konflik itu, semacam membuat interior design, sehingga konflik yang berlangsung selama ini bisa lebih mengarah ke tren yang lebih positif di masa depan.
Dengan demikian, untuk ringkasnya, Indonesia harus memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi, khususnya di bidang perangkat keras di bidang Industri strategis khususnya milter, ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian.
Dalam bidang peningkatan kapastias SDM, sudah selayaknya mempertimbangkan kerjasama bidang riset dengan Rusia. Maupun peningkatan anggaran beasiswa baik dalam skema Bappenas maupun Pemerintah Rusia.
Pengadaan Alutsista/Alat Utama Sistem Persenjataan dan Perangkat Keras. Sehingga Indonesia harus memperluas jaringan pasarnya ke Afrika, Asia Tengah dan Caucasus.
0 komentar:
Posting Komentar