Suatu ketika pernah ada seorang petinggi dari perusahaan Airbus mengatakan bahwa setiap negara itu memiliki sifat dan bakat tertentu. Jika negara India memiliki bakat matematika dan teknologi informasi, China dengan bakat Fisikanya, maka Indonesia memiliki bakat di Aeronotika. Bisa jadi perkataan tersebut berlebihan. Namun, faktanya kini Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki industri pesawat terbang sendiri yang bernama PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Belasan tahun sudah PT Dirgantara Indonesia (PT DI), yang dahulunya terkenal dengan nama PT Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) mati suri sejak Indonesia mengalami krisis moneter. Kini, harapan baru tampak di depan mata dan mereka siap untuk lepas landas memajukan industri penerbangan di Indonesia.
INILAH berkesempatan untuk berbincang banyak dengan Kepala Komunikasi PT DI, Soni Saleh Ibrahim mengenai awal kebangkitan PT DI dalam menjemput masa depannya. Berawal dari krisis moneter yang menimpa Indonesia yang membuat pemerintah Indonesia tidak dapat lagi mengucurkan dana kepada PT DI yang saat itu masih bernama PT IPTN. “Padahal saat itu industri pesawat terbang Indonesia itu akan memproduksi pesawat N250. Bahkan sudah ada prototipenya dan sudah terbang. Namun karena dana dari Pemerintah tidak turun lagi, maka proyek tersebut dihentikan,” ceritanya mengawali perbincangan.
Tak cukup sampai di situ, PT Di juga sempat merumahkan sejumlah karyawannya karena perusahaan tak sanggup lagi menggaji mereka. PT DI pun mengalami defisit keuangan dan memiliki utang ke pemerintah sebesar Rp 1,571 triliun dan penyertaan modal sementara (PMS) sebesar Rp 2,378 triliun. “PT DI pun akhirnya mengajukan ke pemerintah agar total utang dan penyertaan modal sementara tersebut dijadikan penyertaan modal negara. Namun, pada tahun 2011, pemerintah hanya mengabulkan Rp 1,571 triliun dijadikan Penyertaan Modal Negara non tunai,” jelasnya.
Baru sejak saat itu, PT DI mulai melihat prospek cerah di depan mata. Kendati tetap saja dana belum mencukupi, namun lantaran neraca keuangan PT DI sudah mulai stabil, maka sejumlah perbankan pun melirik untuk meminjamkan dana. “Pada tahun 2012 perbankan mulai mau memberikan pinjaman non cash. Pada tahun 2012, BRI memberikan plafon pinjaman non cash sebesar 88 juta dolar Amerika dan 97 juta Euro serta pada tahun 2013 sebesar 40 juta dolar Amerika dan 163 Euro,” sebutnya.
Selain itu, Bank BNI juga memberikan plafon pinjaman non cash sebesar Rp 130 juta dolar Amerika dan Bank Exim pada tahun 2012 sebesar 4,2 juta dolar Amerika dan tahun 2013 10 juta dolar Amerika. “Dana itulah yang kami gunakan untuk merevitalisasi dan restrukturisasi PT DI. Sejumlah peralatan yang sudah kuno kami keluarkan, peralatan yang masih bagus kami remajakan kembali, serta kami juga membeli sejumlah peralatan baru,” terangnya.
Maka jadilah PT DI menjadi perusahaan yang sudah memiliki cukup modal untuk melakukan produksi dan menerima pesanan pesawat terbang. Tak hanya dari dalam negeri saja, sejumlah negara pun tertarik dengan produk pesawat terbang hasil karya anak negeri. “PT DI sempat memenangkan tender untuk pemesanan empat pesawat patroli pantai Angkatan Bersenjata Korea Selatan. PT DI juga melayani pemesanan negara-negara di wilayah Asia Pasific seperti Malaysia, Brunei, Pakistan, Thailand, Filipina, Vietnam, Korea. Mereka memesan pesawat militer NS212 dan CN235. Pesawat-pesawat buatan PT DI dianggap paling sesuai untuk digunakan,” paparnya.
Jika pesawat NC212 dapat mengangkut 24 penumpang, pesawat CN235 dapat mengangkut sebanyak 40 penumpang. Adapun yang lebih besar lagi yakni pesawat CN295 dengan daya angkut 60 penumpang. “Pesawat tersebut merupakan pesawat serbaguna yang dapat digunakan untuk keperluan militer. Selain itu, PT DI juga saat ini sedang mengerjakan proyek pembuatan pesawat penumpang kecil dengan kapasitas angkut sebanyak 19 penumpang yang diberi nama N219,” tuturnya.
N219 memiliki kemampuan short take off and landing, mudah dioperasikan di daerah terpencil, bisa self starting tanpa bantuan ground support unit hanya perlu ground support equipment yang minimum, biaya operasi dan pemeliharaan rendah, dan harga jual yang tidak mahal. “Sekarang ini, N219 masih dalam tahap uji terowongan angin dan desain detil. Kendati demikian, sudah ada sejumlah maskapai penerbangan yang tertarik untuk memesan pesawat ini. Seperti PT NBA yang menginginkan 30 unit, Lion Air 50 unit, dan maskapai penerbangan dari negara Afrika tertarik pesan 100 unit,” ungkapnya.
Soni meyakini pesawat itu akan dapat benar-benar dipasarkan pada tahun 2016. Targetnya 1 tahun PT DI dapat memproduksi 10 unit N219. Selain itu, Soni mengungkapkan hal yang juga jadi penopang pendapatan penting bagi PTDI adalah kontrak pemasok suku cadang yang datang dari sejumlah pabrikan besar pesawat seperti Airbus. “Kami adalah single source untuk sayap yang melekat ke badan Inboard Outer Fixed Leading Edge untuk Airbus 380,” tegasnya.