Komodo, Made In PT Pindad Indonesia

That was a name that given to PT Pindad latest 4×4 tactical vehicle.

SS2 Made In PT. Pindad Indonesia

SS2-V5 has a long barrel 252mm. compare with SS2-V1-V2= 460mm, SS2-V4=403mm and 460mm, with a shorter barrel.

Made In PT. Pindad Indonesia : APS-3 ANOA

Mesin Berkapasitas 7000 cc dan 320 tenaga kuda.

PT. Dirgantara Indonesia

Pesawat CN-295 Buatan Indonesia dan Spanyol memiliki Panjang: 24,50 meter, Tinggi: 8,66 meter, Rentang sayap: 25,81 meter.

Made In PT. PAL Indonesia

Kapal Perang jenis LPD Memiliki Kecepatan 15,4 knots, Panjang 125 m (410.10 kaki), Lebar 22 m (72.18 kaki) .

Torpedo SUT, Made In : PT. Dirgantara Indonesia

Jarak operasional: 28 km, Kecepatan/ jarak: 35 knots/24,000 yd; 23 knots/ 56,000 yd, Hulu ledak: 225 kg, kedalaman menyelam: 100 m

SS4 Made In PT Pindad Indonesia

Amunisi GPMG FN MAG 58/7,62 x 51 mm, Kaliber 7,62 mm.

Daftar Pasukan Elite Tentara Nasional Indonesia

1.Denjaka, 2.YonTaifib, 3.Kopaska, 4.Kopassus, 5. DetBravo-90.

Kapal Perang Berteknologi Anti Radar Buatan Indonesia

Panjang 63 meter, Lebar 16 meter, Bobot 219 ton, Mesin utama 4x MAN 1800 marine diesel engine nominal 1.800 PK+ 4x waterjet MJP550.

SPR-1, SPR-2, SPR-3 Made In PT Pindad Indonesia

Senjata Sniper Buatan PT. Pindad Indonesia ini diberi nama Senapan Penembak Runtuk, Mampu menembak Baja setebal 3 cm.

KFX/IFX : Pesawat Tempur Buatan Indonesia - Korsel, Berteknologi Anti Radar (Pesawat Siluman)

Status : Proses pengerjaan telah selesai sampai Tahap II, Dan saat ini proyek pengerjaan telah di Tunda Sampai Juni 2014

Helikopter Gandiwa Made In : PT. Dirgantara Indonesia

Nama GANDIWA diambil dari nama senjata milik Arjuna yang didapat dari Dewa Baruna. Persenjataan : kanon laras tunggal kaliber 30 mm tipe M230 Chain Gun, roket Hydra 70 dan CRV7 kaliber 70 mm.

Kamis, 10 Oktober 2013

Singapura Beli 6 Sistem Radar AN/TPQ-53 dari AS

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTjpmR_syb6KY8LQh3wKvyObuVlTFgO3bgnBSgT8-D17GZoQRDgwabJ0Sd7Bf1_6F4MlDA2RGHO3r-ItajYj6svSSpzWipFyR1jJ-2-a-AeV4Mr4XudTF3qZsKZZpD5aoUU8AhXRTvHi0/s1600/radar_AN-TPQ-53.jpg

Defense Security Cooperation Agency (DSCA) pada hari ini menotifikasi Kongres AS tentang kemungkinan penjualan 6 unit sistem radar AN/TPQ-53 Counterfire Acquisition kepada Singapura dan peralatan yang terkait, suku cadang, pelatihan dan dukungan logistik dengan perkiraan biaya AS$ 179 juta (sekitar Rp 2 triliun).

Sebelumya pemerintah Singapura telah mengajukan permohonan untuk membeli 6 unit sistem radar AN/TPQ-53 yang kemampuan pindai sektornya 120 derajat, perangkat lunak, peralatan pendukung simulator, generator, unit daya, publikasi dan dokumentasi teknis, cadangan dan peralatan perbaikan, live fire exercise, peralatan komunikasi tambahan, peralatan dan perlengkapan uji coba, pelatihan dan peralatan personil, dan dukungan teknis dari pemerintah AS dan kontraktor, repair dan return, Quality Assurance Teams, dan elemen atau program dan dukungan logistik terkait lainnya. Biaya diperkirakan sebesar AS$179 juta.

Usulan penjualan yang diajukan oleh DSCA AS ini akan memberikan kontribusi bagi kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS karena akan meningkatkan kemampuan pertahanan Republik Singapura untuk berkontribusi untuk keamanan regional, yaitu untuk kontra pembajakan dan kontra terorisme dan terus menstabilkan chokepoint kritis dimana banyak barang yang dibutuhkan dunia dikirimkan melalui kawasan Asia Pasifik terutama Selat Malaka.

Pemerintah Singapura berniat untuk menggunakan sistem radar AN/TPQ-53 untuk memodernisasi Angkatan Bersenjatanya. Pembelian sistem radar ini akan meningkatkan kemampuan pertahanan dasar Angkatan Darat Singapura. Radar akan mereduksi kerentanan terhadap serangan dan memberikan informasi bagi Angkatan Darat Singapura untuk menanggapi serangan tersebut. Sistem radar ini akan menjadi aset penting bagi Singapura untuk terus melindungi atau mencegah potensi ancaman. AS menyebutkan Angkatan Darat Singapura tidak akan mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan sistem radar ini.

AS mengatakan, usulan penjualan peralatan dan dukungan tersebut tidak akan mengubah keseimbangan militer di kawasan Asia Pasifik khususnya di Asia Tenggara.

Kontraktornya adalah Lockheed Martin Corporation di Syracuse, New York. Tidak ada perjanjian tambahan terkait potensi penjualan ini. Selanjutnya, pemerintah AS dan perwakilan kontraktor akan terbang ke Singapura untuk melihat kesiapan Singapura.

Usulan penjualan ini memang diperlukan dalam hukum penjualan alutsista AS ke luar negeri, bukan berarti penjualan sistem radar ini sudah disimpulkan.

Pesawat Tempur F-35 yang Dibeli Australia dari AS Mulai Dirakit

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlmkFYtU4KqSnRoT5-zVmi6Aep1c5gbh9oS0zUn0URPN_c1Ah2c2s3aGJETc5rmfW_8pglW5TD28J_LHUsrwK-1Za0a6TVVdgbvVvYNaQlUMUUHujIKg6m4-8wGOZS7Teady02MK5JWFo/s1600/tempat_perakitan_f-35_australia.jpg

FORT WORTH, Texas, 8 Oktober 2013 - Lockheed Martin dan Angkatan Udara Australia (RAAF) merayakan pembuatan pesawat tempur F-35 Lightning II pertama untuk Australia. Lockheed Martin telah memulai proses pembuatan untuk F-35 pertama Australia yang diberi kode AU-1 itu, di mana komponen utama pesawat digabungkan untuk menghasilkan struktur pesawat. AU-1 ini akan masuk ke jalur perakitan dan kemudian keluar dari pabrik untuk segera dikirimkan kepada RAAF pada musim panas 2014.Jeff Babione, Wakil Presiden dan Wakil Manajer Program F-35 Lockheed Martin, menanggapi kemitraan antara Lockheed Martin dan Australia dengan mengatakan "Hari ini menjadi awal baru bagi penerbangan taktis Australia. Lockheed Martin bangga dengan hubungan panjang dengan penerbangan Australia, dan sekarang F-35 akan menjadikan hubungan dengan RAAF semakin kuat dalam beberapa dekade mendatang."

Tercatat ada 14 perusahaan Australia dalam rantai pasokan global F-35. Perusahaan-perusahaan ini di bawah kontrak untuk membuat bagian-bagian untuk F-35. Setiap F-35 yang dibangun, maka disitu terdapat bagian dan komponen buatan indutri Australia.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkSg8k7B_9x1JDZyPDgdhKiTkpjYMsriE3skk3vwMQb9KFpmGuOGaJtgKgNL_YPudUpuMeEmSbNr3BZe9t2ObYApv1ZFtknSZy5R05ZaKZrqHefgqXNqB69PU7EG1Vve5OIf4ZU_aRVm0/s1600/F-35.jpg

Acara ini juga menandai hubungan yang lama antara Lockheed Martin dan Angkatan Bersenjata Australia, yang dimulai dengan Lockheed Vega, F-111 dan akhirnya F-35. Untuk pengiriman pertama, Australia akan mendapatkan 2 unit F-35 yang sekarang baru mulai diproduksi, dan akan dikirimkan ke RAAF tahun depan.

F-35 Lightning II adalah pesawat tempur generasi ke-5, menggabungkan fitur siluman canggih dengan kecepatan dan kelincahan tempur, sistem misi canggih, informasi sensor yang sepenuhnya menyatu, network-enabled operations dan cutting-edge sustainment. F-35 terdiri dari 3 varian berbeda yang akan menggantikan pesawat A-10 dan F-16 Angkatan Udara AS, F/A-18 Angkatan Laut AS, dan F/A-18 dan AV-8B Harrier Korps Marinir AS, dan akan menggantikan berbagai pesawat setidaknya untuk 10 negara lain.

Berkantor pusat di Bethesda, Md, Lockheed Martin adalah perusahaan kedirgantaraan dan keamanan global yang mempekerjakan sekitar 116 ribu orang di seluruh dunia. Lockheed Martin bergerak dalam bidang penelitian, desain, pengembangan, manufaktur, integrasi, dan terus mengembangkan sistem canggih, produk dan jasa. Penjualan bersih Lockheed Martin pada 2012 adalah sebesar AS$ 47,2 miliar.

TNI Angkatan Udara Tak Mau Dipermainkan Lagi

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7BTLMr_LxNAcNoIlroJaDuegWrSWhgQwKASI1n88Z0iWBWwxswFPnOUYHe5e8Y0v2y3aQbLapQhEpB-u3gESM_rbloTEAKH5xujqfBg08oyqnZeQtaQVJmzq1sYxLdgrxe2lmBkd-M8kT/s400/image.tempointeraktif.com.jpg

Pengalaman menjadi guru yang paling berharga. Luasnya wilayah Nusantara yang tidak diimbangi dengan kekuatan peralatan tempur udara yang memadai menjadi salah satu faktor munculnya kasus Ambalat. Guna mencegah terjadinya kasus serupa, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara berencana menambah skuadron di Pekanbaru, Riau, dan Biak, Papua, untuk melengkapi kekuatan pengawasan wilayah teritorial Indonesia.

Hal ini seiring bertambahnya jumlah pesawat tempur F-16 dalam program Minimum Essential Force (MEF). Kepala Pusat Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Suyadi Bambang Supriyadi mengatakan rencana penambahan skuadron ini untuk memperkuat pengawasan di wilayah barat dan timur Indonesia dari ancaman luar.

Penambahan skuadron ini dinilai cukup penting mengingat luas wilayah Tanah Air dan banyaknya daerah perbatasan dengan negara lain. Sistem pengawasan wilayah teritorial Indonesia beda dengan negara lain karena merupakan negara kepulauan."Kalau negara lain mengawasi daerahnya sendiri. Kalau negara kita ya mengawasi kayak kawasan Asean,” ujar Suyadi kepada detikcom kemarin.

Suyadi menekankan, penambahan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) bukan alasan mengikuti negara lain. Namun, lebih untuk tujuan kekuatan pertahanan nasional yang punya wilayah sangat luas.

Ia mengaku optimistis soal sasaran pemerintah terkait target program MEF selesai pada 2019 dari yang sebelumnya 2024. Namun, meski diharapkan bisa selesai 2019, bukan berarti ada pengurangan armada alutsista yang baru. “Ini kan soal perbandingan dengan luas wilayah. Itu tidak boleh dikurangi. Kalau begitu, nanti negara lain akan main-main dengan kita. Kayak kasus Ambalat karena dia tahu dulu kita masih minim kekuatan alutsista pesawat tempur,” katanya menegaskan.

Pengamat militer dari Universitas Indonesia Andi Wijayanto menilai upaya modernisasi alutsista TNI sudah terbilang baik. Mengacu pada target pencapaian kekuatan pokok minimum MEF 2024, modernisasi yang sudah dilakukan pemerintah sudah di atas target. "Hal ini karena penambahan anggaran pengadaan alutsista Rp 149 triliun untuk 2010-2014," ujar Andi.

TNI Sebut Amerika Pelit Teknologi

http://images.detik.com/albums/detiknews/alutsista-tni/Modernisasi-_Alutsista_AD_infografis_detiknews.jpg

Pemerintah dalam pengadaan alat utama sistem senjata atau Alutsista menjalin kerja sama dengan beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Perancis, dan Korea Selatan. Masing-masing negara produsen tersebut mempunyai keunggulan teknologi tersendiri. Dari kerja sama itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal Sisriadi Iskandar mengungkapkan ada strategi tersendiri dari pemerintah Indonesia.

Sisriadi menegaskan pemerintah tidak terikat pada negara tertentu karena Indonesia punya pengalaman embargo tahun 1990-an hingga 2000-an oleh Amerika. Indonesia punya pesawat tapi tidak dapat terbang karena suku cadangnya tak bisa dibelikan. "Karena pengalaman itu makanya kita jadi beli di mana-mana, jadi diembargo di sini kita masih bisa beli di sana,” ujar dia kepada wartawan, kemarin. Selain itu, pemerintah juga tak mau membeli alutsista dari satu sumber karena alasan teknologi. “Amerika itu pelit enggak mau kalau sekalian sama teknologinya,” kata Sisriadi.

Persoalan transfer teknologi memang jadi perhatian tersendiri. Untuk mengoperasikan alat-alat super canggih itu diperlukan keterampilan sumber daya manusia yang tinggi. Sesuai Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, dalam setiap pembelian sistem senjata dari luar negeri wajib ada konten lokal. Bentuknya antara lain pelatihan, kerja sama pembuatan, dan kerja sama operasi.

Sisriadi berujar, kerja sama PT Dirgantara Indonesia dengan Kanada adalah salah satu bentuk kerja sama dan transfer teknologi tersebut. Sementara dari produsen lain, pembelian senjata juga umumnya sepaket dengan training. "Setiap kontrak ada klausul bahwa operator akan dilatih di negara itu. Dan yang kita kirim adalah tenaga-tenaga intinya, jadi nanti dia pulang akan menyebarkan ilmu,” jelasnya. Dia optimistis kemampuan prajurit Tanah Air bisa mengimbangi kecanggihan teknologi alutsista yang baru.

Anggota Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati atau Nuning mengatakan sudah seharusnya industri pertahanan dalam negeri diberi kesempatan besar untuk pembuatan alutsista TNI. "Ini untuk menyesuaikan kebutuhan teritorial wilayah negara dan sistem kemandirian dalam kemampuan yang bisa terus berkembang," ujar politikus Partai Hanura.