Nenek Astuti, janda tua dari almarhum veteran BKR Laut, Letda Soegeng Setijoso, meski renta dan keriput, ingatan veteran Palang Merah Indonesia (PMI) semasa perang gerilya ini masih tajam. Cerita dua bocah dan perempuan hamil yang dibantai tentara Jepang dengan sadis, dikisahkan dengan sangat detail. Saat direkrut menjadi anggota PMI, nenek Astuti bercerita, dia masih berusia sangat muda. "Saya masih kecil, masih kelas 3 mau naik kelas 4 (kelas 4 sekolah rakyat). Saya diberi satu setel seragam warna putih, di dada kiri ada lambang PMI-nya," cerita Nenek Astuti dengan Bahasa Jawa.
Masuk sebagai anggota PMI, bersama para pejuang, dari Bojonegoro mereka berjalan kaki menuju Surabaya. "Saya kan asalnya dari Bojonegoro, terus ikut perang jadi PMI itu. Saat perang di Surabaya, saya sama tentara-tentara itu ke Surabaya jalan kaki." Cerita demi cerita terus mengalir dari bibir keriput yang terus digerus usia. Mulai peralatan PMI, seperti obat-obatan hingga kesaksiannya tentang kekejaman perang.
"Tentara Jepang itu paling kejam. Di Bojonegoro, ada dua anak kecil mengambil botol minyak angin di jalan, terus ketangkap. Dia dimandikan dan didudukkan di pangkuan ibunya. Dia diminta tidak menjerit dan menangis. Katanya, kamu jangan menjerit sama nangis. Terus leher mereka langsung digorok (dipenggal)," kenang nenek 77 tahun itu.
Tah hanya itu, kesaksian nenek Astuti atas kekejaman perang, saat pertempuran di Surabaya tahun 1945 silam. Suatu kejadian miris di Putro Agung juga disaksikannya. Seorang ibu muda dalam keadaan hamil dengan dua anak yang masih kecil yang usianya 3 tahun dan 1,5 tahun, meninggal terkena tembakan Inggris. Satu tembakan di paha dan satu tembakan di leher.
"Melihat itu saya menangis, kedua anaknya masih kecil. Surabaya sangat ramai. Hujan peluru di mana-mana, tembakan peluru itu persis kayak hujan. Jalan tidak bisa, harus merangkak, berdiri sedikit kena peluru, ada tentara kita yang coba berdiri sedikit, kupingnya kena peluru," kisahnya lagi.
Nenek Astuti diam sejenak. Coba diingatnya kembali masa-masa gerilya. "Perang itu mengerikan, yang paling mengerikan pertempuran di Siola, Tunjungan dan Hotel Oranje (sekarang Hotel Majapahit) banyak yang meninggal di situ, saya melihat ada yang meninggal posisi sujud, ada yang meninggal tergantung di atap Gedung Hotel Oranje. Banyak sekali orang meninggal di jalanan itu. Waktu dari Bojonegoro jalan ke Surabaya, kita jalan sampai di Bambu Runcing, ramai sekali waktu itu."
Saat aksi perobekan bendera Merah Putih Biru di Hotel Oranje (semasa pendudukan Jepang bernama Hotel Yamato), Astuti muda berada tepat di bawah menara bendera di Hotel Oranye.
Bung Tomo memimpin pertempuran. Di Stasiun RRI dia berpidato mengobarkan semangat perlawanan Arek-Arek Surobojo. Bung Karno juga datang ke Surabaya mengadakan rapat. Perang 10 November pecah, Surabaya banjir darah.
"Bung Karno datang mau ngadakan rapat. Mau ada perundingan dengan tentara sekutu. Jendral Mallaby juga datang, tapi kena tembak di dekat Jembatan Merah," ceritanya.
Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby tewas, sebelum berunding dengan Soekarno. "Setelah perang suami saya, dipindah ke Kalimantan, ke Makasar terus kembali lagi ke Surabaya. Setelah almarhum Bung Karno lengser, pensiun. Saya juga sudah tidak di PMI. Sampai sekarang hidup ya dari uang pensiun. Tidak ada bantuan dari pemerintah. Sekarang uang pensiunnya sudah Rp 1,3 juta, dulu masih sedikit," katanya dengan nada datar.
Yah, nenek Astuti, sejak enam tahun silam telah ditinggal berpulang oleh suaminya Letda Soegeng. Satu dari empat anaknya yang semuanya mengalami keterbelakangan mental ikut meninggal karena sakit di Liponsos Surabaya. Dua orang masih menghuni Liponsos, dan satu orang anaknya masih tinggal bersamanya di Kalibokor Kencana II/12.
Sejak diketahui sebagai veteran perang pada 2011, warga sekitar yang prihatin dengan kehidupan nenek Astuti membantu dengan sukarela. Hingga saat ini, istri Ketua RW Kalibokor Kencana II, Nur merawatnya dengan kasih sayang, meski bukan bagian dari keluarga.
Rumah yang dulu hanya gubuk reot, setelah program bedah rumah dari pihak TNI, kini sedikit terlihat bersih. "Dulu, jangankan tetangganya, orang yang lewat depan rumahnya, pasti muntah, karena baunya minta ampun. Mulai bau kotoran manusia sampai bau sampah jadi satu," celetuk tetangga nenek Astuti.
Di dalam rumah, satu-satunya peninggalan berharga Letda Soegeng adalah Surat Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia, yang terbingkai usang di dinding rumah. Di belakang surat itu, terdapat foto dan tulisan tangan Letda Soegeng tentang nyanyian "Hiburan Gerilya" yang diciptakan Astuti.
Masuk sebagai anggota PMI, bersama para pejuang, dari Bojonegoro mereka berjalan kaki menuju Surabaya. "Saya kan asalnya dari Bojonegoro, terus ikut perang jadi PMI itu. Saat perang di Surabaya, saya sama tentara-tentara itu ke Surabaya jalan kaki." Cerita demi cerita terus mengalir dari bibir keriput yang terus digerus usia. Mulai peralatan PMI, seperti obat-obatan hingga kesaksiannya tentang kekejaman perang.
"Tentara Jepang itu paling kejam. Di Bojonegoro, ada dua anak kecil mengambil botol minyak angin di jalan, terus ketangkap. Dia dimandikan dan didudukkan di pangkuan ibunya. Dia diminta tidak menjerit dan menangis. Katanya, kamu jangan menjerit sama nangis. Terus leher mereka langsung digorok (dipenggal)," kenang nenek 77 tahun itu.
Tah hanya itu, kesaksian nenek Astuti atas kekejaman perang, saat pertempuran di Surabaya tahun 1945 silam. Suatu kejadian miris di Putro Agung juga disaksikannya. Seorang ibu muda dalam keadaan hamil dengan dua anak yang masih kecil yang usianya 3 tahun dan 1,5 tahun, meninggal terkena tembakan Inggris. Satu tembakan di paha dan satu tembakan di leher.
"Melihat itu saya menangis, kedua anaknya masih kecil. Surabaya sangat ramai. Hujan peluru di mana-mana, tembakan peluru itu persis kayak hujan. Jalan tidak bisa, harus merangkak, berdiri sedikit kena peluru, ada tentara kita yang coba berdiri sedikit, kupingnya kena peluru," kisahnya lagi.
Nenek Astuti diam sejenak. Coba diingatnya kembali masa-masa gerilya. "Perang itu mengerikan, yang paling mengerikan pertempuran di Siola, Tunjungan dan Hotel Oranje (sekarang Hotel Majapahit) banyak yang meninggal di situ, saya melihat ada yang meninggal posisi sujud, ada yang meninggal tergantung di atap Gedung Hotel Oranje. Banyak sekali orang meninggal di jalanan itu. Waktu dari Bojonegoro jalan ke Surabaya, kita jalan sampai di Bambu Runcing, ramai sekali waktu itu."
Saat aksi perobekan bendera Merah Putih Biru di Hotel Oranje (semasa pendudukan Jepang bernama Hotel Yamato), Astuti muda berada tepat di bawah menara bendera di Hotel Oranye.
Bung Tomo memimpin pertempuran. Di Stasiun RRI dia berpidato mengobarkan semangat perlawanan Arek-Arek Surobojo. Bung Karno juga datang ke Surabaya mengadakan rapat. Perang 10 November pecah, Surabaya banjir darah.
"Bung Karno datang mau ngadakan rapat. Mau ada perundingan dengan tentara sekutu. Jendral Mallaby juga datang, tapi kena tembak di dekat Jembatan Merah," ceritanya.
Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby tewas, sebelum berunding dengan Soekarno. "Setelah perang suami saya, dipindah ke Kalimantan, ke Makasar terus kembali lagi ke Surabaya. Setelah almarhum Bung Karno lengser, pensiun. Saya juga sudah tidak di PMI. Sampai sekarang hidup ya dari uang pensiun. Tidak ada bantuan dari pemerintah. Sekarang uang pensiunnya sudah Rp 1,3 juta, dulu masih sedikit," katanya dengan nada datar.
Yah, nenek Astuti, sejak enam tahun silam telah ditinggal berpulang oleh suaminya Letda Soegeng. Satu dari empat anaknya yang semuanya mengalami keterbelakangan mental ikut meninggal karena sakit di Liponsos Surabaya. Dua orang masih menghuni Liponsos, dan satu orang anaknya masih tinggal bersamanya di Kalibokor Kencana II/12.
Sejak diketahui sebagai veteran perang pada 2011, warga sekitar yang prihatin dengan kehidupan nenek Astuti membantu dengan sukarela. Hingga saat ini, istri Ketua RW Kalibokor Kencana II, Nur merawatnya dengan kasih sayang, meski bukan bagian dari keluarga.
Rumah yang dulu hanya gubuk reot, setelah program bedah rumah dari pihak TNI, kini sedikit terlihat bersih. "Dulu, jangankan tetangganya, orang yang lewat depan rumahnya, pasti muntah, karena baunya minta ampun. Mulai bau kotoran manusia sampai bau sampah jadi satu," celetuk tetangga nenek Astuti.
Di dalam rumah, satu-satunya peninggalan berharga Letda Soegeng adalah Surat Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia, yang terbingkai usang di dinding rumah. Di belakang surat itu, terdapat foto dan tulisan tangan Letda Soegeng tentang nyanyian "Hiburan Gerilya" yang diciptakan Astuti.
0 komentar:
Posting Komentar