Seorang mantan operator pesawat tanpa awak Amerika Serikat (AS) mengungkapkan perasaannya atas keikusertaannya dalam operasi, yang menewaskan ribuan orang di Irak dan Afghanistan. Menurut pria muda tersebut, dirinya terus dihantui oleh kejadian-kejadian tersebut.
Hal tersebut diungkapkan Brandon Bryant dalam wawancara dengan NBC Newsseperti dilansir News.com.au, Sabtu (8/6/2013). Pria berumur 27 tahun itu telah menjadi operator pesawat tanpa awak Angkatan Udara AS di wilayah Irak dan Afghanistan selama lima tahun. Dikatakan Bryant, dirinya "kehilangan respek akan kehidupan" akibat partisipasinya dalam operasi yang diperkirakan telah menewaskan 1.626 nyawa selama 5 tahun.
Dijelaskan pria yang menyebut dirinya "anak naif" tersebut, dia bergabung dengan Angkatan Udara AS saat berumur 19 tahun. Bryant pun mengingat tugas pertamanya sebagai operator pesawat tak berawak di pangkalan Angkatan Udara di Nevada, AS. Saat itu dia mengoperasikan kamera pesawat ketika tim mereka meluncurkan dua rudal dari sebuah pesawat tak berawak yang jaraknya ribuan mil di Afghanistan.
Rudal-rudal tersebut mengenai tiga pria yang sedang menyusuri sebuah jalan. Sementara Bryant dan timnya menyaksikan insiden itu di layar komputer mereka. "Orang yang berlari itu, dia kehilangan kaki kirinya," kata Bryant kepada NBC. "Dan saya menyaksikan orang ini bersimbah darah," imbuhnya seraya mengatakan korban akhirnya tewas di tempat.
Dikatakan Bryant, dia kini menderita berbagai gangguan seperti kemarahan dan susah tidur. Dia pun telah didiagnosa menderita gangguan stres Post-traumatic Stress Disorder (PTSD). "Terlalu menyakitkan memikirkan berapa banyak orang yang kehilangan nyawa mereka, mungkin tak bersalah," cetusnya.
Menurut Senator Lindsey Graham dari Partai Republik, serangan-serangan pesawat tanpa awak AS telah menewaskan lebih dari 4.700 orang di sejumlah negara sejak tahun 2004. Meski targetnya adalah anggota-anggota militan, namun disebut-sebut bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil.
Hal tersebut diungkapkan Brandon Bryant dalam wawancara dengan NBC Newsseperti dilansir News.com.au, Sabtu (8/6/2013). Pria berumur 27 tahun itu telah menjadi operator pesawat tanpa awak Angkatan Udara AS di wilayah Irak dan Afghanistan selama lima tahun. Dikatakan Bryant, dirinya "kehilangan respek akan kehidupan" akibat partisipasinya dalam operasi yang diperkirakan telah menewaskan 1.626 nyawa selama 5 tahun.
Dijelaskan pria yang menyebut dirinya "anak naif" tersebut, dia bergabung dengan Angkatan Udara AS saat berumur 19 tahun. Bryant pun mengingat tugas pertamanya sebagai operator pesawat tak berawak di pangkalan Angkatan Udara di Nevada, AS. Saat itu dia mengoperasikan kamera pesawat ketika tim mereka meluncurkan dua rudal dari sebuah pesawat tak berawak yang jaraknya ribuan mil di Afghanistan.
Rudal-rudal tersebut mengenai tiga pria yang sedang menyusuri sebuah jalan. Sementara Bryant dan timnya menyaksikan insiden itu di layar komputer mereka. "Orang yang berlari itu, dia kehilangan kaki kirinya," kata Bryant kepada NBC. "Dan saya menyaksikan orang ini bersimbah darah," imbuhnya seraya mengatakan korban akhirnya tewas di tempat.
Brandon Bryant
Dikatakan Bryant, dia kini menderita berbagai gangguan seperti kemarahan dan susah tidur. Dia pun telah didiagnosa menderita gangguan stres Post-traumatic Stress Disorder (PTSD). "Terlalu menyakitkan memikirkan berapa banyak orang yang kehilangan nyawa mereka, mungkin tak bersalah," cetusnya.
Menurut Senator Lindsey Graham dari Partai Republik, serangan-serangan pesawat tanpa awak AS telah menewaskan lebih dari 4.700 orang di sejumlah negara sejak tahun 2004. Meski targetnya adalah anggota-anggota militan, namun disebut-sebut bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar