Para ahli Rusia kini sedang mengembangkan robot yang dirancang untuk meminimalisir korban dalam serangan teroris serta mampu melumpuhkan teroris, ujar Deputi Perdana Menteri Rusia Dmitry Rogozin, akhir pekan lalu. Peralatan lain yang sedang dikembangkan Rusia termasuk sistem yang dapat melihat teroris yang sedang ngumpet. Alat ini dikendalikan dari jarak jauh tanpa melukai para sandera yang diculik, tambah deputi PM Rusia yang membawahi industri persenjataan ini.
Tentu Robot anti-teroris ini tak sepi dari kritik. Yang paling lantang adalah kritik dari Human Rights Watch (HRW). HRW menyebut senjata ini sebagai “robot pembunuh” yang mampu memilih dan melumpuhkan target tanpa bantuan manusia. “Senjata yang sepenuhnya otonom belum ada, namun kini sedang dikembangkan oleh beberapa negara menjadi senjata yang sepenuhnya otonom dan sudah dipakai oleh tentara yang melek teknologi tinggi,” kata HRW dalam pernyataannya di situs mereka dan dikutip RIA Novosti Sabtu (19/5).
“Beberapa ahli memprediksi senjata yang sepenuhnya otonom sudah bisa dioperasikan dalam 20 hingga 30 tahun mendatang,” tambah HRW. Senjata-senjata robot ini tidak bisa sesuai dengan standar hukum kemanusiaan internasional. Termasuk aturan-aturan mengenai keistimewaannya, proporsinya dan kepentingan militer. “Senjata-senjata ini tidak mengenal rasa iba, sekalipun luput membidik dan menyasar warga sipil,” kata HRW. Senjata otonom ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang bertanggung jawab secara hukum atas penggunaan robot pembunuh ini.
Pesawat kecil tanpa awak “drone” - yang mampu mengejar dan membunuh pemberontak, pejuang atau anggota kelompok ekstrem kini sedang dipertanyakan dasar hukum pengoperasiannya. HRW dari awal mempertanyakan apakah “robot pembunuh” juga memiliki dasar hukum yang kuat?
Tentu Robot anti-teroris ini tak sepi dari kritik. Yang paling lantang adalah kritik dari Human Rights Watch (HRW). HRW menyebut senjata ini sebagai “robot pembunuh” yang mampu memilih dan melumpuhkan target tanpa bantuan manusia. “Senjata yang sepenuhnya otonom belum ada, namun kini sedang dikembangkan oleh beberapa negara menjadi senjata yang sepenuhnya otonom dan sudah dipakai oleh tentara yang melek teknologi tinggi,” kata HRW dalam pernyataannya di situs mereka dan dikutip RIA Novosti Sabtu (19/5).
“Beberapa ahli memprediksi senjata yang sepenuhnya otonom sudah bisa dioperasikan dalam 20 hingga 30 tahun mendatang,” tambah HRW. Senjata-senjata robot ini tidak bisa sesuai dengan standar hukum kemanusiaan internasional. Termasuk aturan-aturan mengenai keistimewaannya, proporsinya dan kepentingan militer. “Senjata-senjata ini tidak mengenal rasa iba, sekalipun luput membidik dan menyasar warga sipil,” kata HRW. Senjata otonom ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang bertanggung jawab secara hukum atas penggunaan robot pembunuh ini.
Pesawat kecil tanpa awak “drone” - yang mampu mengejar dan membunuh pemberontak, pejuang atau anggota kelompok ekstrem kini sedang dipertanyakan dasar hukum pengoperasiannya. HRW dari awal mempertanyakan apakah “robot pembunuh” juga memiliki dasar hukum yang kuat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar