Pada sekitar tahun 1961, Presiden
Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak dan tambang-tambang
asing di Indonesia. Minimal sebanyak 60 persen dari keuntungan
perusahaan minyak asing harus menjadi jatah rakyat Indonesia. Namun
kebanyakan dari mereka, gerah dengan peraturan itu. Akibatnya, skenario
jahat para elite dunia akhirnya mulai direncanakan terhadap negeri
tercinta, Indonesia.
Pada akhir tahun 1996 lalu, sebuah artikel yang ditulis oleh seorang penulis Lisa Pease yang dimuat dalam majalah Probe. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC. Judul tulisan tersebut adalah “JFK, Indonesia, CIA and Freeport“. Walau dominasi Freeport atas “gunung
emas” di Papua telah dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di negeri
ini ternyata sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Dalam tulisannya, Lisa Pease mendapatkan temuan jika Freeport Sulphur,
demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping
ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun pada tahun 1959.
Saat
itu di Kuba, Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator
Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu
dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja
hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya dari Kuba,
akhirnya terkena imbasnya. Maka terjadi ketegangan di Kuba. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Fidel Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan. Ditengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita
jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg
(Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jacques Dozy di tahun 1936.
Forbes Wilson,Direktur Freeport Sulphur 1959
Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah
dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja
di perpustakaan Belanda. Namun, Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan kemudian membacanya. Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita
kepada pemimpin Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang
keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan
alamnya yang begitu melimpah.
Tidak seperti wilayah lainnya diseluruh
dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada disekujur tubuh Gunung
Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di
dalam tanah. Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias
dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran
cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka
perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan
yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson
melakukan survey dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah
sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku
berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai
harta karun terbesar, yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi
karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah disekujur gunung
tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan
temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih
tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak.
Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama GOLD MOUNTAIN,
bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson
memperkirakan jika Freeport akan untung besar, hanya dalam waktu tiga
tahun pasti sudah kembali modal. Pimpinan Freeport Sulphur ini pun
bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur
mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di
Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah
mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno
malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat. Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy (JFK) agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno.
Kennedy mengancam Belanda, akan menghentikan bantuan Marshall Plan
jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu
memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari
puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa mengalah dan
mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu
jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga.
Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai
bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai emas yang ada di gunung tersebut. Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pemimpin Freeport jelas marah besar.
Presiden AS, John F Kennedy ditembak saat bersama istrinya di mobil pada 22 November 1963.
Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan. Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963.
Banyak kalangan menyatakan penembakan Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika. Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya.
Presiden Sukarno pada lawatan kenegaraannya ke Amerika Serikat sedang memeriksa barisan tentara kehormatan Amerika setelah turun dari pesawat didampingi presiden AS, John F Kennedy Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport. Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport dan pemimpin Texaco, yang membawahi Caltex, ia juga chairman Presbyterian Hospital Board dan Penasehat CIA di kepresidenan AS untuk masalah luar negeri..
Augustus C.Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib, Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian Hospital di New York, dimana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA. Lisa Pease dengan cermat menelusuri
riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun
sementara sebagai pemimpin Texaco.
Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu, yang di Indonesia dikenal sebagai “masa yang paling krusial”. Pease mendapatkan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank,
salah satu perusahaan Rockefeller. Pada bulan Agustus 1965, Long
diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelejen kepresidenan AS untuk
masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar
untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long
diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang
dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang
disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Pengamat sejarawan LIPI, Dr Asvi Marwan Adam
Sedangkan menurut pengamat sejarawan dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi Marwan Adam,
Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak
bangsa sendiri. Asvi juga menuturkan, sebuah arsip di
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember
1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang
membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Soeharto yang pro-pemodal asing, datang
ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat, bahwa
dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan
asing itu.
“Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu,” kata Asvi.
Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari
Amerika Serikat menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya
berinvestasi di Papua. Namun Soekarno menolak secara halus.
“Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya,” ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno.
Soekarno berencana modal asing baru masuk
Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola.
Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia
masih memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Oleh
karenanya sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar
ke negara-negara lain.
Suharto, sebagai komandan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) disaat memimpin pasukan untuk memerangi G-30/S-PKI
Soekarno boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara. Namun Asvi menjelaskan bahwa usaha pihak luar yang bernafsu ingin mendongkel kekuasaan Soekarno, tidak kalah kuat. Setahun sebelumnya yaitu pada tahun 1964,
seorang peneliti diberi akses untuk membuka dokumen penting Departemen
Luar Negeri Pakistan dan menemukan surat dari duta besar Pakistan di
Eropa.
Dalam surat per Desember 1964, diplomat
itu menyampaikan informasi rahasia dari intel Belanda yang mengatakan
bahwa dalam waktu dekat, Indonesia akan beralih ke Barat. Lisa
menjelaskan maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di
Indonesia oleh partai komunis.
Sebab itu, angkatan darat memiliki alasan
kuat untuk menamatkan Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah itu
membuat Soekarno menjadi tahanan. Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur sudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua.
Salah satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342,
21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada pertemuan para
penglima tinggi dan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana
darurat itu, bila Presiden Soekarno meninggal. Namun kelompok yang
dipimpin Jenderal Soeharto tersebut ternyata bergerak lebih jauh dari
rencana itu. Jenderal Suharto justru mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga
pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang benar adanya. Maka dibuatlah
PKI sebagai kambing hitam sebagai tersangka pembunuhan 7 Dewan Jenderal
yang pro Sukarno melalui Gerakan 30 September
yang didalangi oleh PKI, atau dikenal oleh pro-Suharto sebagai
“G-30/S-PKI” dan disebut juga sebagai Gestapu (Gerakan Tiga Puluh)
September oleh pro-Sukarno.
Soeharto diberikan mandat dengan dikeluarkannya Supersemar untuk mengatasi keadan oleh presiden Sukarno
Setelah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan negara Indonesia berubah total. Terjadi kudeta yang telah direncanakan
dengan “memelintir dan mengubah” isi Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) 1966, yang pada akhirnya isi dari surat perintah itu
disalahartikan. Dalam Supersemar, Sukarno sebenarnya
hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan negara yang kacau-balau
kepada Suharto, bukan justru menjadikannya menjadi seorang presiden.
Suharto
dan Tien Suharto berdiri di depan Patung 7 Jenderal di daerah Lubang
Buaya yang dalam pelajaran sejarah, mereka telah “dibunuh PKI” lalu
jasadnya ditemukan hanya dalam satu lubang sumur di daerah Lubang Buaya.
Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport
yang diterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease
menulis bahwa akhirnya pada awal November 1965, satu bulan setelah
tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno (yang dikenal juga
sebagai 7 dewan Jenderal yang dibunuh PKI), Forbes Wilson mendapat
telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?”
Ibnu Sutowo, Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada tahun 1966
Forbes Wilson jelas kaget. Dengan jawaban
dan sikap tegas Sukarno yang juga sudah tersebar di dalam dunia para
elite-elite dan kartel-kartel pertambangan dan minyak dunia, Wilson
tidak percaya mendengar pertanyaan itu. Dia berpikir Freeport masih akan sulit
mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa. Ketika itu Soekarno
masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana
Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para
petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting
di dalam lingkaran elit Indonesia. Oleh karenanya, usaha Freeport untuk
masuk ke Indonesia akan semakin mudah. Beberapa elit Indonesia yang
dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan
Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo .
Julius Tahija, penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Namun pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport, juga dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet Bratanata. Selain itu juga ada seorang bisnisman sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan asing yaitu Julius Tahija.
Julius Tahija berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Dalam bisnis ia menjadi pelopor dalam
keterlibatan pengusaha lokal dalam perusahaan multinasional lainnya,
antara lain terlibat dalam PT Faroka, PT Procter & Gambler
(Inggris), PT Filma, PT Samudera Indonesia, Bank Niaga, termasuk
Freeport Indonesia. Sedangkan Ibnu Soetowo sendiri sangat
berpengaruh di dalam angkatan darat, karena dialah yang menutup seluruh
anggaran operasional mereka.
Sebagai bukti adalah dilakukannya
pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967 yaitu UU
no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di
Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller seorang Bilderberger dan
disahkan tahun 1967.
Maka, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Bukan saja menjadi lembek, bahkan sejak
detik itu, akhirnya Indonesia menjadi negara yang sangat tergantung
terhadap Amerika, hingga kini, dan mungkin untuk selamanya. Bahkan beberapa bulan sebelumnya yaitu
pada 28 Februari 1967 secara resmi pabrik BATA yang terletak di Ibukota
Indonesia (Kalibata) juga diserahkan kembali oleh Pemerintah Indonesia
kepada pemiliknya. Penandatanganan perjanjian pengembalian pabrik Bata
dilakukan pada bulan sesudahnya, yaitu tanggal 3 Maret 1967.
Penandatanganan perjanjian pengembalian kembali pabrik Bata pada
tanggal 3 Maret 1967. Sumber foto: The Netherlands National News Agency
(ANP)
Padahal pada masa sebelumnya sejak tahun
1965 pabrik Bata ini telah dikuasai pemerintah. Jadi untuk apa dilakukan
pengembalian kembali? Dibayar berapa hak untuk mendapatkan atau
memiliki pabrik Bata itu kembali? Kemana uang itu? Jika saja ini terjadi
pada masa sekarang, pasti sudah heboh akibat pemberitaan tentang hal
ini.
Namun ini baru langkah-langkah awal dan
masih merupakan sesuatu yang kecil dari sepak terjang Suharto yang masih
akan menguasai Indonesia untuk puluhan tahun mendatang yang kini
diusulkan oleh segelintir orang agar ia mendapatkan gelar sebagai
Pahlawan Nasional. Penandatangan penyerahan kembali pabrik Bata
dilakukan oleh Drs. Barli Halim, pihak Indonesia dan Mr. Bata ESG Bach. Masih ditahun yang sama 1967, perjanjian
pertama antara Indonesia dan Freeport untuk mengeksploitasi tambang di
Irian Jaya juga dilakukan, tepatnya pada tanggal 7 April perjanjian itu
ditandatangani.
Penandatanganan Kontrak Freeport di Jakarta Indonesia, 1967. Sumber foto: The Netherlands National News Agency (ANP)
Akhirnya, perusahaan Freeport Sulphur of Delaware,
AS pada Jumat 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan
pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport
diperkirakan menginvestasikan 75 hingga 100 juta dolar AS. Penandatanganan bertempat di Departemen
Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri
Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills
(Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport
Indonesia), anak perusahan yang dibuat untuk kepentingan ini. Disaksikan
pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green.
Freeport
mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk
kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama
dilakukan. Pada Desember 1972 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali
dilakukan dengan tujuan Jepang.
Dari penandatanganan
kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar penyusunan Undang-Undang
Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967.
Inilah kali pertama kontrak pertambangan
yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan
perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto
berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia. Setelah itu juga ikut ditandatangani kontrak eksplorasi nikel di pulau Irian Barat dan di area Waigee Sentani oleh PT Pacific Nickel Indonesia dan Kementerian Pertambangan Republik Indonesia.
Penandatanganan Kontrak Nikel Irian oleh Pacific Nickel Indonesia, 19 Februari 1969. Sumber foto: The Netherlands National News Agency (ANP)
Perjanjian dilakukan oleh E. OF Veelen (Koninklijke Hoogovens),
Soemantri Brodjonegoro (yaitu Menteri Pertambangan RI selanjutnya yang
menggantikan Ir. Slamet Bratanata) dan RD Ryan (U.S. Steel). Pacific Nickel Indonesia adalah perusahaan yang didirikan oleh Dutch Koninklijke Hoogovens, Wm. H. MÜLLER, US Steel, Lawsont Mining dan Sherritt Gordon Mines Ltd.
Namun menurut penulis, perjanjian-perjanjian pertambangan di Indonesia banyak keganjilan. Contohnya seperti tiga perjanjian diatas
saja dulu dari puluhan atau mungkin ratusan perjanjian dibidang
pertambangan. Terlihat dari ketiga perjanjian diatas sangat meragukan
kebenarannya. Pertama, perjanjian pengembalian pabrik
Bata, mengapa dikembalikan? apakah rakyat Indonesia tak bisa membuat
seperangkat sendal atau sepatu? sangat jelas ada konspirasi busuk yang
telah dimainkan disini.
Kedua, perjanjian penambangan tembaga oleh Freeport, apakah mereka benar-benar menambang tembaga? Saya sangat yakin mereka menambang emas, namun diperjanjiannya tertulis menambang tembaga. Tapi karena pada masa itu tak ada media, bagaimana jika semua ahli geologi Indonesia dan para pejabat yang terkait di dalamnya diberi setumpuk uang? Walau tak selalu, tapi didalam pertambangan tembaga kadang memang ada unsur emasnya.
Perjanjian
ketiga adalah perjanjian penambangan nikel oleh Pasific Nickel, untuk
kedua kalinya, apakah mereka benar-benar menambang nikel? Saya sangat yakin mereka menambang perak, namun diperjanjiannya tertulis menambang nikel. Begitulah seterusnya, semua
perjanjian-perjanjian pengeksplotasian tambang-tambang di bumi Indonesia
dilakukan secara tak wajar, tak adil dan terus-menerus serta
perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku selama puluhan bahkan
ratusan tahun kedepan.
Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan,
kekayaan Indonesia pun terjual, dirampok, dibawa kabur kenegara-negara
pro-zionis, itupun tanpa menyejahterakan rakyat Indonesia selama puluhan
tahun. “Saya melihat seperti balas budi
Indonesia ke Amerika Serikat karena telah membantu menghancurkan
komunis, yang konon bantuannya itu dengan senjata,” tutur pengamat
sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi Marwan
Adam.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport mengandeng Bechtel,
perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John
McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA
Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg”
setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu
memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya
menempati urutan ketiga terbesar didunia.
Maley
menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan
cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dollar AS dan masih akan
menguntungkan untuk 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga
menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia
yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia!!
Istilah
Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya
EMASPURA. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga
mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di
permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru
menggalinya dengan sangat mudah.
Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Tambang Grasberg (Grasberg Mine)
atau Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut
Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut
emas dan tembaga itu ke Amerika. Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang Seharusnya patut dipertanyakan, mengapa kota itu bernama Tembagapura? Apakah pada awalnya pihak Indonesia sudah
“dibohongi” tentang isi perjanjian penambangan dan hanya ditemukan
untuk mengeksploitasi tembaga saja?
Jika iya, perjanjian penambangan harus
direvisi ulang karena mengingat perjanjian pertambangan biasanya berlaku
untuk puluhan tahun kedepan. Menurut kesaksian seorang reporter CNN yang diizinkan meliput areal tambang emas Freeport dari udara. Dengan helikopter ia meliput gunung emas tersebut yang ditahun 1990-an sudah berubah menjadi lembah yang dalam.
Semua emas, perak, dan tembaga yang ada
digunung tersebut telah dibawa kabur ke Amerika, meninggalkan limbah
beracun yang mencemari sungai-sungai dan tanah-tanah orang Papua hingga
ratusan tahun ke depan. Dan menurut penelitian Greenpeace,
Operasi Freeport McMoran di Papua telah membuang lebih dari 200.000 ton
tailing perharinya ke sungai Otomina dan Aikwa, yang kemudian mengalir
ke Laut Arafura.
Dan hingga 2006 lalu saja diperkirakan sudah membuang hingga tiga miliar ton tailing yang sebagian besar berakhir di lautan. Sedimentasi laut dari limbah pertambangan hanyalah satu dari berbagai ancaman yang merusak masa depan lautan kita.
Puncak Jaya di Irian Jaya pada latar belakang dan Muller Glacier pada
latar depan, tahun 1990-an Keterangan 2 foto dibawah: tampak semakin
berkurangnya salju atau es di Puncak Jaya Papua. Foto kiri bawah Puncak
Jaya ditahun 1936, foto kanan bawah Puncak Jaya ditahun 1972.
Freeport juga merupakan ladang uang haram bagi para pejabat negeri ini di era Suharto, dari sipil hingga militer. Sejak 1967 sampai sekarang, tambang emas
terbesar di dunia itu menjadi tambang pribadi mereka untuk memperkaya
diri sendiri dan keluarganya.
Freeport McMoran sendiri telah
menganggarkan dana untuk itu yang walau jumlahnya sangat besar bagi
kita, namun bagi mereka terbilang kecil karena jumlah laba dari tambang
itu memang sangat dahsyat. Jika Indonesia mau mandiri, sektor inilah
yang harus dibereskan terlebih dahulu.
Itu pula yang menjadi salah satu sebab,
siapapun yang akan menjadi presiden Indonesia kedepannya, tak akan
pernah mampu untuk mengubah perjanjian ini dan keadaan ini. Karena, jika presiden Indonesia siapapun
dia, mulai berani mengutak-atik tambang-tambang para elite dunia, maka
mereka akan menggunakan seluruh kekuatan politik dengan media dan
militernya yang sangat kuatnya di dunia, dengan cara menggoyang
kekuasaan presiden Indonesia. Kerusuhan, adu domba, agen rahasia,
mata-mata, akan disebar diseluruh pelosok negeri agar rakyat Indonesia
merasa tak aman, tak puas, lalu akan meruntuhkan kepemimpinan
presidennya siapapun dia.
Inilah salah satu “warisan” orde baru, new order, new world order di era kepemimpinan rezim dan diktator Suharto selama lebih dari tiga dekade.
Suharto, presiden Indonesia selama 32 tahun yang selalu tersenyum dengan julukannya “the smilling General”
, presiden satu-satunya di dunia yang sudi melantik dirinya sendiri
menjadi Jenderal bintang lima, namun masih banyak yang ingin
menjadikannya pahlawan nasional, karena telah sukses menjual kekayaan
alam dari dasar laut hingga puncak gunung, dari Sabang hingga Merauke,
yaitu negeri tercinta ini, Indonesia yang besar, Indonesia Raya.
Indonesia, negeri yang seharusnya
memiliki masyarakat nan makmur sebagai Mercu Suar Dunia, yang berguna
untuk membantu puluhan negara-negara miskin yang rakyatnya masih banyak
dihantui kelaparan berkepanjangan, kini, justru jadi bangsa pengemis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar