Selasa, 11 Juni 2013

Dana Minim, Kekuatan Militer AS Menurun

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7ghelRo-97Yhyphenhyphenl8DEdPhilC9jEPHZXTdzpFaULHP8OBPrsumVCPmjfm1YBKnvObuHMd4yoGv0cDA1klI0cB_8bMZa4niDZEqAz3-wfu3h1ml06IDN0ryM6aE46UBWHPP_SSil_BVnV_8/s1600/tentara-as-dan-bendera.jpg

Amerika Serikat menyadari bahwa strategi lamanya yang menggunakan uang dan peralatan berteknologi tinggi dalam jumlah besar agar lebih mendominasi atau lebih unggul dari musuh kini tidak lagi bisa dilakukan. Bukan karena senjata dan tentara profesional Amerika sudah buruk, tetapi karena AS sudah kehabisan dana dan ketidakmampuan untuk mendapatkannya kembali.

Masalah utamanya adalah inersia birokrasi dan korupsi politik. Misal, dalam perang, senjata baru dapat dikembangkan/dibuat hanya dalam beberapa minggu atau bulan saja. Ini masih berlaku, dan telah terjadi beberapa kali dalam dua dekade terakhir Amerika Serikat, dan terutama dalam perang di dekade terakhir. Tapi kini sudah terlalu banyak senjata yang dikembangkan oleh AS seperti helikopter Comanche, artileri Crussader self-propelled, kapal destroyer DDG-1000, jet tempur F-22 dan F-35, dan masih banyak lagi.

Akibatnya, Angkatan Laut dan Angkatan Udara AS dihadapkan dengan krisis, mereka tidak lagi memiliki dana untuk mengakuisisi senjata baru yang sebelumnya direncanakan untuk menggantikan senjata lama. Ketika pemimpin militer, politisi dan pengembang senjata Amerika Serikat disarankan untuk lebih "berpikir murah dan mengencangkan ikat pinggang" ternyata mereka total tidak bisa. Setidaknya mereka bisa mengatakan bahwa mereka tidak bisa melakukannya apabila tidak disertai dengan perubahan mendasar dalam cara mereka melakukan bisnis.

AS sejak dulu "dicemooh" karena memiliki keunggulan yang "tidak adil" dalam perang. Ini karena kecenderungan Amerika untuk mengeluarkan materi dan uang dalam jumlah yang banyak (untuk senjata) daripada jumlah personel di dalam pertempuran. Inilah yang terlihat paling menonjol selama Perang Dunia II, ketika tawanan Jerman sering komplain (ketika ditanya) tentang hal ini. Memang hal ini bukan ketentuan dalam perang, dalam perang tidak harus satu melawan satu, tapi mungkin moral-lah yang dipertaruhkan.

Bagi Jerman (juga Jepang), artileri, pesawat dan tank Amerika terlihat dimana-mana, sepanjang waktu, dan dalam jumlah yang luar biasa. Haruskah musuh melancarkan serangan ke wilayah yang berada di dalam jangkauan senjata Amerika? Ini bukan atraksi sulap, senjata-senjata AS akan segera menembaki pasukan musuh yang maju. Hasilnya, Jepang dan Jerman selalu dibuat terkejut, dan "dilumat" ketika mereka bertemu dengan dukungan artileri dalam jumlah besar yang menyertai unit darat pasukan AS.

Jerman berpikir bahwa dukungan artileri dalam jumlah besar ini "tidak adil" (jika hanya karena Amerika memilikinya sedangkan Jerman tidak), sedangkan Jepang tidak seperti Jerman, mereka lebih memilih mati dengan cara terhormat (terus menyerang). Jerman juga mengeluhkan kawanan pesawat tempur Amerika yang selalu hadir di udara, seringkali membuat mustahil bagi unit Jerman untuk bergerak melalui jalan darat pada siang hari. Di laut, baik Jerman dan Jepang juga mengeluhkan jumlah besar dari kapal dan pesawat Amerika.

AS bukan satu-satunya negara yang menggunakan teknik ini. Dalam Perang Dunia II, baik Inggris dan Rusia menggunakan kendaraan lapis baja dalam jumlah yang lebih besar dari lawan mereka yaitu Jerman. Mengutip sebuah pepatah lama Rusia "kuantitas memiliki kualitas tersendiri," tapi hanya pada poin tertentu saja. Rusia juga mengerahkan tentara dalam jumlah yang luar biasa. Sementara Amerika Serikat kehilangan 0,3 persen dari populasi mereka dalam Perang Dunia II, Rusia kehilangan 18 persen (sepertiga pasukan, sisanya warga sipil).

Setelah Perang Dunia II, kuantitas sudah menjadi kurang efektif. Pada saat itu, bom atom dan banyaknya senjata dan peralatan berteknologi tinggi lainnya membuat pasukan yang besar tidak lagi diperlukan. Mengorbankan orang bukan lagi keunggulan besar. Kebenaran hal ini semakin terlihat jelas pada akhir abad ke-20, bahwa sebuah pasukan tentara profesional sangat jauh lebih efektif daripada pasukan yang lebih besar yang didalamnya banyak berisi personel dari wajib militer, bahkan jika dipersenjatai dengan banyak tank dan senjata lainnnya.

Negara-negara lain sadar bahwa akan sangat sulit untuk mengejar ketertinggalan (atau bahkan melampaui) dengan teknologi militer Amerika Serikat, terlalu mahal. China sudah menjadi kekuatan baru di dunia yang mencobanya dan kini mereka lebih memilih strategi mencari cara baru untuk mengejar atau mengungguli keunggulan teknologi Amerika (perang asimetris).

Inilah sebabnya China lebih agresif dalam menggunakan internet berbasis spionase dan konsep Perang Cyber pada umumnya. Bisa dikatakan ini bidang teknologi baru dan hal itu memungkinkan bagi China untuk banyak mencuri teknologi Amerika dan bahkan mengunggulinya. Ini adalah sebuah pertaruhan besar tetapi bukan berarti China bersiap-siap untuk Perang Dunia III, mereka hanya mencoba untuk waspada dalam kasus kemungkinan adanya persinggungan yang berkembang menjadi perang besar, dan tentu saja untuk menilai strategi dan mengukur kekuatan lawan.

Sementara militer China sedang "kaya raya" (walau masih kalah dari AS), Amerika Serikat tengah dipaksa untuk mempertimbangkan kembali bagaimana cara melengkapi dan mengoperasikan angkatan bersenjatanya. Dana sudah minim, dan tidak tahu kapan dana itu ada kembali, dan harga untuk kapal perang dan pesawat baru "turun" jika yang dibeli adalah model yang lebih murah atau proses pembangunannya mengadopsi beberapa praktek perang. Akan sulit bagi AS selama politisinya masih melihat anggaran pertahanan sebagai sumber bantuan untuk kampanye.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar